Welcome to my blog

Blog ini merupakan journal saya dan akan saya post mengenai science, travelling, makanan/pangan dan sudut pandang saya terhadap sesuatu.

Science

Untuk tag ini saya akan nge-post mengenai science yang sedikit banyak saya pahami khusus nya perikanan.

Food

Untuk tag ini saya akan nge-post mengenai makanan (pangan) secara umum dan menyeluruh seperti diversifikasi dan keamanan pangan.

Travelling

Untuk tag ini saya akan nge-post mengenai saya akan memposting pengalaman-pengalaman travelling seru saya :).

Viewpoint

Untuk tag ini saya akan nge-post mengenai saya akan memposting opini saya untuk hal-hal yang terjadi disekitar saya.

Jumat, 27 September 2019

Ganja Medis ? Bisakah ??

Berbicara ganja, memang tidak ada habisnya. Dimulai dari kelompok yang menginginkan legalisasi ganja, atau hanya untuk riset dan pengembangan medis. Yang jelas sudah banyak kasus yang terjadi di Indonesia terkait ganja medis. Berikut dapat kita lihat headline-headline beritanya


Ternyata, pemanfaatan ganja ini sudah dari jaman dahulu loh, mari kita simak sejarah dan potensi penggunaan ganja untuk bahan medis

Sejarah pemanfaatan ganja
Ganja merupakan tumbuhan tertua yang dikenal sebagai obat psikotropika oleh manusia. Tanaman ganja sangat mudah tumbuh di daerah iklim tropis dan tengah (temperate).  Awal mula pemanfaatan ganja oleh manusia sangat sulit untuk ditelusuri. Hal ini dikarenakan penggunaannya sudah dilakukan dari zaman dahulu, bahkan sebelum adanya riset-riset ilmiah. Menurut McKim (2000) berdasarkan pernemuan arkeologis, ganja sudah dikenal di China sejak jaman neolitik atau sekitar tahun 4000SM.
Seorang Kaisar China bernama Shen Nung merupakan orang pertama yang menambahkan ganja dalam ramuan obat tradisional China. Hal ini tercatat dalam kompendium ramuan obat China, yang ditulis pada tahun 2737 SM (Li, 1974). Setelah itu, tanaman ganja sudah mulai dibudidayakan. Pemanfaatannya juga semakin meluas, diantaranya sebagai sumber serat, recreational consumption dan obat-obatan, serta menyebar ke India dan Asia Tenggara (Mechoulam, 1986). Pada tahun 1839, seorang dokter dan ahli bedah bernama William O’Shaughnessy menemukan analgesik, stimulan nafsu makan dan perelaksasi otot dari ganja selama dia bekerja di India. Penemuan ini dipublikasikan serta menjadi awal dari ekspansi riset penggunaan ganja sebagai obat.

Potensi pemanfaatan ganja di bidang farmasi
Riset-riset terkait pemanfaatan ganja sebagai obat sangat banyak dilakukan di Negara-negara yang melagalkan riset terkait ganja. Ben Amar (2006) menyebutkan, saat ini  telah ditemukan lebih dari 460 jenis komponen kimia di dalam ganja, baik bersifat endogen maupun plant based.  104 jenis diantaranya termasuk dalam golongan cannabinoid.  Bahan bioaktif golongan cannabinoid yang sudah diteliti dan terkandung dalam ganja dalam jumlah yang banyak yaitu delta-9-tetrahydrocannabinol (THC), delta-8-tetrahydrocannabinol (∆8THC), cannabinol (CBN), cannabidiol (CBD), cannabicycol (CBL), cannabichromene (CBC) dan cannabigerol (CBG). Menurut Smith (1998) semua jenis bahan biaoktif ini (kecuali jenis THC) sangat potensial dikembangkan sebagai obat, karena pada jumlah yang kecil, senyawa ini tidak memberi efek psikotropika secara signifikan.

a.       Ganja sebagai efek antiemetik
Proses kemoterapi kanker sering menyebabkan mual dan muntah sebagai efek sampingnya (efek emetik). Efek ini bervariasi intensitasnya, beberapa kasus dapat terjadi secara berkepanjangan. Senyawa THC dan turunannya seperti nabilone serta dronabinol sangat potensi dikembangkan sebagai antiemetik. Penelitian Darmani (2010) menyebutkan senyawa Δ9-THC efektif digunakan sebagai antiemetik (pada pengujian hewan dan pasien). Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa senyawa nabilone dari ganja secara signifikan lebih unggul dari pada antiemetik konvensional seperti prokloperazin, domperidon dan alizapride. Saat ini, Canadian Pharmacists Association telah menyetujui penggunaan dari nabilone dengan dosis 2-6 mg/hari.

b.      Ganja sebagai analgesik
Beberapa jenis cannabinoid terbukti menjadi bahan analgesik yang efektif dalam mereda nyeri kronis dan akut secara in vivo (pada hewan) (Duran et al, 2004). Hasil penelitian Costa et al, (2004) menyebutkan cannabinoid WIN 55,212-2 mampu meredakan nyeri neuropatik dan hiperalgesia pada hewan percobaan tikus. Penelitian lanjutan sangat penting dilakukan untuk mengembangkan pemanfaatan ganja sebagai bahan analgesik.

c.       Ganja sebagai stimulan nafsu makan
Anorexia atau kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan secara progresif yang umum terjadi pada pasien penderita kanker stadium lanjut atau infeksi HIV. Kehilangan nafsu makan bagi penderita kanker dan HIV akan menjadi perjuangan tersendiri saat melawan kehilangan nafsu makan. Penggunaan ganja medis merupakan salah satu solusi yang potensial dikembangkan untuk meningkatkan nafsu makan. Penelitian yang dilakukan oleh Jatoi et al, (2002) memberikan salah satu senyawa cannabinoid (magestrol) kepada 469 penderita kanker dewasa, terbukti dapat meningkatkan nafsu makan serta meningkatkan berat badan rata-rata 11%. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Abrams et al, (2003) memberikan senyawa THC kepada 67 penderita HIV dewasa mampu meningkatkan berat badan rata-rata 3 Kg setelah 21 hari.
Penelitian-penelitian ini menunjukkan potensi pengembangan ganja sebagai medis sangat besar. Banyak penelitian menunjukkan hasil yang signifikan, disisi lain penggunaan ganja sebagai medis telah dilakukan sejak jaman dahulu. Provinsi Aceh dikenal sebagai daerah penghasil ganja. Saat ini, pemanfaatannya hanya sebagai obat terlarang (psikotropika), sehingga sudah saatnya untuk dikembangkan riset penggunaan ganja sebagai medis.


Referensi
McKim WA. 2000. Drugs and Behavior. An Introduction to Behavioral Pharmacology, 4th ed. Prentice-Hall : New Jersey (US).
Li HL. 1974. An archaelogical and historical account of cannabis in China. Economic Botany 28: 437–448.
Mechoulam R. 1986. Chapter 1: the pharmacohistory of Cannabis sativa. dalam : Mechoulam R. Cannabinoids as Therapeutic Agents. CRC Press: Boca Raton(US).
Ben Amar M. 2006. Cannabinoids in medicine: a review of their therapeutic potential. Journal of Ethnopharmacology 105: 1-25.
Smith DE. 1998. Review of the american medical association council on scientific affairs report on medical marijuana. Journal of Psychoactive Drugs 30: 127-136.
Darmani NA. 2010. Mechanisms of Broad-Spectrum Antiemetic Efficacy of Cannabinoids against Chemotherapy-Induced Acute and Delayed Vomiting. Pharmaceuticals 3(9): 2930-2955.
Duran M. Laporte JR. Capella D. 2004. Novedades sobre las potencialidades terapeuticas del cannabis y el sistema cannabinoide. Medicina Clinica 122: 390–398.
Costa B, Colleoni M, Conti S, Trovato AE, Bianchi M, Sotgiu ML, Giagnoni G. 2004. Repeated treatment with the synthetic cannabinoid WIN 55,212-2 reduces both hyperalgesia and production of pronociceptive mediators in a rat model of neuropathic pain. Br J Pharmacol 141(1): 4-8.
Jatoi A. Windschitl HE. Loprinzi CL. Sloan JA. Dakhil SR. Mailliard JA. Pundaleeka S. Kardinal CG. Fitch TR. Krook JE. Novotny PJ. Christensen B. 2002. Dronabinol versus megestrol acetateversus combination therapy for cancer-associated anorexia: a North central cancer treatment group study. Journal of Clinical Oncology 20: 567–573.
Abrams DI. Hilton JF. Leiser RJ. Shade SB. Elbeik TA. Aweeka FT. Benowitz BL. Bredt BM. Korel B. Aberg JA. Deeks SG. Mitchell TF. Mulligan K. Baccheti P. McCune JM. Schambelan M. 2003. Short-term effects of cannabinoids in patients with HIV-1 infection. A randomized, placebo-controlled clinical trial. Annals of Internal Medicine 139: 258–266



Selasa, 27 Desember 2016

Aplikasi Mikroenkapsulasi Dalam Dunia Pangan


Hasil mikrokapsul


Apa itu mikroenkapsulasi ?

Mikroenkapsulasi adalah suatu teknik fisik mengemas suatu bahan aktif (inti) dalam bahan sekunder yang berupa lapisan film yang tipis. Proses ini bertujuan untuk melindungi bahan inti (agar tetap aman dan tidak rusak) dari pengaruh lingkungan. prinsip mikroenkapsulasi ini sama seperti suatu sel, dimana inti sel dilindungi oleh dinding sel.

Aplikasi enkapsulasi dalam dunia pangan dilakukan oleh Scultz dan tim medio 1956an. Awalnya mereka menyalut minyak sitrus menggunakan sukrosa dan dekstrosa. percobaan ini membuahkan hasil. Scultz menghasilkan produk minyak sitrus yang stabil dan cita rasa tidak berubah selama penyimpanan selama enam bulan. proses ini selanjutnya berkembang pesat hingga munculnya mikroenkapsulasi. Hingga saat ini sudah sangat banyak peneliti-peneliti mengembangkan teknik ini, bahkan mikroenkapsulasi kini dilakukan dengan berlapis-lapis.

Ciri mikrokapsul

Kapsul dikelompokan berdasarkan ukurannya oleh peneliti. Singh (2010) menyebutkan, kapsul dapat dikatakan berukuran mikro jika ukuran diameter partikelnya 1-1000 μm. Struktur utama dari mikrokapsul terdiri atas satu inti (single core) dan lebih dari satu inti (multiple core) pada bagian dindingnya. Jenis single core, dapat diperoleh dengan cara coacervation, droplet co-extrusion dan pemasukan molekul, sedangkan jenis multiple core diperoleh dengan cara spray drying. Bentuk mikrokapasul tidak selalu berbentuk bola, dapat berbentuk persegi panjang maupun tidak beraturan.
Jenis mikrokapsul


Teknik Mikroenkapsulasi

Mekanisme mikroenkapsulasi
Teknik mikroenkapsulasi sangat banyak sekali. secara umum teknik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu secara fisik dan kimia. Teknik fisik meliputi spray drying, spray cooling, freeze drying, spinning disk, fluidized bed, extrusion dan co-crystallization, sedangkan teknik kimia meliputi coaservation, enkapsulasi molekular dan liposome entrapment. Kedua teknik ini akan menghasilkan ukuran partikel yang berbeda beda. 
Peneliti India, Jyothi pada tahun 2012 dalam penelitiannya menyebutkan teknik gabungan fisik dan kimia mampu menghasilkan ukuran partikel yang sangat kecil. Teknik tersebut encapsulation secara polyelectrolyte multilayer (0.02 – 20 um). Hingga saat ini, sejumlah teknik terus dikembangkan oleh peneliti agar diperoleh mikrokapsul yang stabil dan efisien dalam memproduksinya. Adapun teknik yang menjadi concern utama peneliti dari awal 90an hingga sekarang adalah teknik liposome entrapment.
Timeline perkembangan teknik mikroenkapsulasi


Aplikasi mikroenkapsulasi dalam dunia pangan

Teknik mikroenkapsulasi yang digunakan dalam dunia pangan dipilih berdasarkan pada sensitivitas bahan aktif, sifat kimia dan fisik baik bahan aktif maupun kulitnya, ukuran mikrokapsul yang ingin diperoleh, tujuan aplikasi bahan makanannya, mekanisme pelepasan bahan aktifnya serta pertimbangan ekonomis. Secara umum, teknik yang sering digunakan adalah spray drying. Alasan penggunaan teknik ini adalah biaya yang relatif murah, proses yang fleksibel, dan mudah diterapkan dalam berbagai varian bahan. Bahan makanan yang dikemas dengan teknik ini biasanya lemak, minyak dan penyedap. Bahan yang digunakan sebagai penyalut berupa karbohidrat seeprti deskrtin, pati, gum maupun gula. Namun, sering juga menggunakan protein seperti gelatin dan protein kedelai sebagai penyalut.


Reference
1. Singh MN (2010) Res Pharm Sci 5(2):65-77.
2. Jyothi SS (2012) Journal of Pharma and Bio Sciences 3(1):509-31.


Minggu, 18 Desember 2016

Spherical Food [ Spherification ]: Teknik Menakjubkan Dalam Penyajian Makanan


Sphericle food
Teknik Spherification merupakan salah satu bagian dalam ilmu manggabungkan antara seni mengolah makanan dan sains, atau dikenal dengan istilah gastronomi molekuler. Didalam dunia kuliner internasional, teknik ini salah satu yang digemari atau sering disajikan. Tujuannya tentu saja untuk meningkatkan sensori konsumen saat makanan disajikan. 

Seorang ahli ilmu pangan amerika, Jeff Potter [2010] dalam buku nya menyebutkan, spherification adalah suatu proses dalam dunia kuliner untuk membentuk bola yang berisikan suatu cairan. This [2006] dalam riset nya menyatakan cairan yang digunakan umumnya dalah flavour atau perasa [fruit ravioli], foam sauces danhot ice cream. Teknik ini sendiri awalnya dikembangkan oleh Unilever medio 1950-an, dan selanjutnya diaplikasikan kedalam pengolahan moderen oleh tim kreatif elBulli dibawah arahan koki eksekutif Ferran Adria.

Proses pembuatan

Pembuatan spherical ini tidaklah susah. Peneliti ilmu pangan, Lee dan Rogers [2012] menyebutkan teknik ini menggunakan sodium alginate dan calcium sebagai bahan baku utamanya. Adapun prinsip nya sederhana sekali, yaitu reaksi antara sodium alginat dan kalsium, sehingga pada saat kontak dengan ion kalsium akan terjadi proses pembekuan dari bagian luar. pembuatannya cukup dengan menjatuhkan campuran sari buah dengan sodium alginate kedalam larutan kalsium klorida. Tekniknya sendiri ada 2 macam yaitu basic spherification dan reserve spherification. basic spherification merupakan reaksi antara sodium alginate dengan kalsium klorida, dimana sodium bahan yang akan dicampurkan kedalam sari buah, sedangkan reserve spherification reaksi antara sodium alginate dengan kalsium laktat, dimana sodium alginate yang dilarutkan dalam air.

Penyajian sphericle

DiIndonesia sendiri, teknik ini masih tergolong baru. Praktis, hanya bebeapa tempat saja yang sudah menerapkan teknik ini, seperti Namaaz Dining. Teknik ini harus dipopuler dan dikembangkan di Indonesia, mengingat caranya yang praktis namun mempunyai ketertarikan dan kepuasan tersendiri ketika mengonsumsinya.


Reference

Potter J (2010). ISBN 0-596-80588-8

Lee P dan Rogers MA (2012) DOI:10.1016/j.ijgfs.2013.06.003

This (2006) DOI:10.1038/sj.embor.7400850

Kamis, 08 Desember 2016

Ganja : Antara Kontroversi dan Potensi

Marijuana
Berbicara mengenai salah satu jenis tanaman "fenomenal" ini, umumnya tidak jauh dari bisnis gelap, "rokok ilegal" hingga rempah untuk meningkatkan kualitas rasa suatu masakan. Yap, ganja merupakan tanaman yang ilegal di Indonesia dan beberapa negara lain. Indonesia sendiri menggolongkan tanaman ini kedalam narkotika, meskipun belum ada bukti ilmiah yang menyatakan tumbuhan ini dapat menyebabkan kecanduan.

Penggunaan ganja seperti dijadikan tembakau untuk rokok memang menimbulkan efek yang beragam. secara umum, pengguna akan mengalami euforia (rasa gembira) yang berlebihan dan hilangnya konsentrasi untuk berfikir. Namun, efek-efek ini akan berbeda dan tidak semua individu akan mengalami efek yang sama dalam konsentrasi yang sama.

Namun, tahukah pembaca ? dibalik semua kontroversi ini, ganja memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obat-obatan. Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Soderpalm 2001 menyebutkan ganja dapat dimanfaatkan sebagai obat anti-emetic. hal ini karena zat Tetrahidrokanabinol (THC) yang dikandungnya. Bahkan, beberapa sumber menyebutkan ganja memiliki tingkat efektifitas yang tinggi dibandingkan dengan obat anti-emetic konvensional seperti prochlorperazine, metoclopramide, chlorpromazine dsb.

Benefit dari ganja
Penelitian lainnya menyebutkan ganja juga berpotensi dikembangkan sebagai obat kanker. Hal ini dikarenakan komponen bioaktif jenis Cannabinoids yang terkandung didalamnya. Penelitian yang dilakukan Blazquez 2003 dan Solinas 2012 menyebutkan komponen bioaktif dari ganja (cannabinoids) mampu menginhibisi tumor angiogenesis. Namun kedua penelitian ini masih dalam tahap in-vitro.

Sumber : ScienceNaturePage

Bagaimana pembaca ?, menaraik bukan ?. sepertinya sudah saatnya peneliti dalam negeri memulai untuk melakukan penelitian lanjutannya, mengingat Indonesia (Prov Aceh) memiliki sumberdaya ganja yang banyak :)

Reference:
Soderpalm 2001 DOI:10.1016/S0091-3057(01)00533-0
Blazquez 2003 DOI:10.1096/fj.02-0795fje
Solinas 2012 DOI:10.1111/j.1476-5381.2012.02050.x



Minggu, 27 November 2016

Melirik Potensi Penyamakan Kulit Dari Limbah Perikanan

Industri penyamakan kulit sudah tidak asing lagi di Indonesia. Industri penyamakan kulit di Indonesia sudah sangat berkembah, terutama penyamakan dengan bahan baku menggunakan kulit hewan tererterial seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Kuilt hasil penyamakan kemudian diolah lebih lanjut menjadi produk-produk yang beragam seperti halnya sepatu, tas, hingga jaket.

Indonesia sendiri masih kekurangan pasokan bahan baku kulit, hal ini dapat dilihat dari data impor kulit indonesia. Pada tahun 2011, total impor kulit ke Indonesia mencapai 4.522,20 dalam ribu US dolar (Kemenperin 2013). Berdasarkan fakta tersebut sudah seharusnya pemerintah mengantisipasi permasalah ini. Salah satu alternatifnya adalah menggunakan limbah dari kulit ikan kambing-kambing.

Ikan Kambing-kambing di sentra pengolahan ikan asin Lampulo - Banda Aceh
Ikan kambing-kambing salah satu primadona hasil tangkap di provinsi Aceh. Data dari KKP (2011) menyebutkan hasil tangkapan ikan kambing-kambing (jenis lainnya) mencapai 19.367 ton pada tahun 2011. Ikan kambing-kambing merupakan salah satu jenis ikan karang. Pemanfaatannya ikan ini hanya diambil dagingnya untuk diolah menjadi bakso, siomay dan dendeng sedangkan kulit langsung dibuang karena memiliki tekstur yang sangat keras dan tidak bisa diolah menjadi bahan makanan. Tekstur yang keras dan bermotif inilah yang menjadikan kulit ikan kambing-kambing berpotensi dijadikan sebagai bahan baku penyamakan kulit.

Proses tanning selama penyamakan kulit
Penyamakan kulit menggunakan kulit ikan sudah berkembang diluar negeri seperti benua Eropa. Negara di Eropa yang telah mengembangkan penyamakan kulit ikan salah satunya Finlandia. Finlandia melalui program Uni Eropa telat mengembangkan penyamakan kulit untuk masyarakat pesisir agar dapat meningkatkan ekonomi masyarakatnya. Eropa masih sangat berprospek besar  untuk membangun industri penyamakan ikan, beberapa produk yang berhasil diproduksi adalah tas dan handycraft seperti pada gambar 1. Proyek penyamakan kulit bagi penduduk pesisir Finlandia berhasil, dikarenakan dapat membuka lapangan kerja full-time yang baru serta memperoleh penghasilan tambahan dari program ini.
Tas kulit ikan UMKM Finlandia

Tas kulit ikan UMKM Finlandia
Reference
1.Kemenperin. 2013. Perkembangan Impor Komoditi Hasil Industri dari Negara Tertentu. http://kemenperin.go.id/statistik/query_komoditi.phpkomoditi=skin&negara=&jenis=i&action=Tampilkan [28 Nov 2016].
2.KKP. 2011. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Vol 12, No 1. Jakarta: KKP.
3.European Commission. 2013. Tanning of Fish Skin – FLAG Osterbotten.https://webgate.ec.europa.eu/fpfis/cms/farnet/tanning-fish-skinflag%C3%B6sterbot ten-fi [25 Desember 2013].

Rabu, 23 November 2016

Bahaya Cemaran Limbah dan Potensi Mikroalga Sebagai Absorbennya

Limbah cair
Limbah merupakan momok yang sangat menakutkan bagi kehidupan alam kita. Seperti kita ketahui, aktifitas industri sering kali menghasilkan limbah yang terkontaminasi logam berat didalamnya. Air limbah ini nantinya bermuara ke danau, waduk hingga laut melalui sungai-sungai sehingga akan mencemari lingkungan khusus nya sumber air bagi kita manusia.

Beberapa tahun belakangan ini pencemaran limbah logam berat oleh industri telah menjadi masalah yang cukup serius bagi kita. Bagaimana tidak ?, limbah sangat berpotensi menjadi racun (logam) yang merusak lingkungan ini nantinya akan terakumulasi dan masuk dalam rantai makanan. Banyak kasus yang sudah terjadi dan terbukti menjadi racun bagi flora dan fauna.

Jenis logam yang terkandung dalam limbah industri maupun rumah tangga umumnya timbal (Pb) dan tembaga (Cu). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Chang pada tahun 2011, terbukti kedua logam ini tergolong dalam kategori sangat berbahaya. Efek yang ditimbulkan oleh timbal misalnya kerusakan ginjal tulang serta sendi. Keracuan timbal akut ini disertai gejala kram perut, gagal ginjal, kemandulan hingga kerusakan otak permanen.

Mengingat begitu bahayanya efek cemaran limbah ini, tentunya kita harus concern betul untuk malasah ini. Saat ini penganggulangan limbah bahaya dilakukan dengan cara konvensional. Sial nya, metode ini banyak kelemahnya. Beberapa kelemahan seperti yang diutarakan oleh Pan (2009) dalam penelitiannya, metode konvensional ini tidak bisa diterapkan dalam kasus cemaran denan konsentrasi kecil dan biaya operasional yang mahal. Kondisi ini menggerakkan peneliti untuk mencari alternatif-alternatif metode lain seperti biosorpsi menggunakan mikroalga.

Biosorpsi

Biosorpsi dalam prosesnya menyatukan entitas biologi dengan proses fisiko-kimia dalam penyerapan. Lebih dalamnya, biosopsi dari ion logam adalah proses akumulasi logam dengan memanfaatkan metabolisme. Hasil penelitian yang dilakukan Kotrba pada tahun 2011 mekanisme biosorpsi dilakukan dengan mengumpulkan logam-logam didinding sel polisakarida. Untungnya, biosorpsi ini dapat dilakukan pada biomassa hidup maupun mati.

Alur biosorpsi

Mikroalga sebagai biosorben

Mikroalga jenis Chlorella sp
Mikroalga air tawar memiliki potensi yang sangat besar sebagai biosorben. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suresh pada tahun 2004 terbukti mikroalga memiliki kesitimewaan yang menjadikan mereka sangat potensial untuk dijadikan biosorben untuk menghilangkan cemaran logam berat seperti toleran terhadap cemaran, mampu tumbuh pada autotropikal dan heterotropikal, memiliki permukaan yang besar serta yang paling penting mikroalga ini potensial untuk direkayasa genetiknya. Kelebihan lainnya, mikroalga merupakan produsen primer dalam sistem ekologi, sehingga jumlahnya sangat banyak dialam serta distribusinya sangat luas. Selain itu dalam penelitan yang dilakukan Lee pada tahun 2011, mikroalga yang telah digunakan untuk absorpsi dapat dilakukan desorpsi dengan mudah, artinya mudah untuk direcycle dan re-use.

Reference
1. Lee dan Chang (2011). DOI:10.1016/j.biortech.2010.12.103
2. Pan (2009). DOI:10.1016/j.jhazmat.2009.06.080
3. Kortba (2011). DOI:10.1007/978-94-007-0443-5_13
4. Suresh (2004). DOI:10.1080/07388550490493627