Berbicara ganja, memang tidak ada habisnya. Dimulai dari kelompok yang menginginkan legalisasi ganja, atau hanya untuk riset dan pengembangan medis. Yang jelas sudah banyak kasus yang terjadi di Indonesia terkait ganja medis. Berikut dapat kita lihat headline-headline beritanya
Ternyata, pemanfaatan ganja ini sudah dari jaman dahulu loh, mari kita simak sejarah dan potensi penggunaan ganja untuk bahan medis
Sejarah pemanfaatan ganja
Ganja merupakan tumbuhan tertua
yang dikenal sebagai obat psikotropika oleh manusia. Tanaman ganja sangat mudah
tumbuh di daerah iklim tropis dan tengah (temperate).
Awal mula pemanfaatan ganja oleh manusia
sangat sulit untuk ditelusuri. Hal ini dikarenakan penggunaannya sudah
dilakukan dari zaman dahulu, bahkan sebelum adanya riset-riset ilmiah. Menurut
McKim (2000) berdasarkan pernemuan arkeologis, ganja sudah dikenal di China
sejak jaman neolitik atau sekitar tahun 4000SM.
Seorang Kaisar China bernama Shen
Nung merupakan orang pertama yang menambahkan ganja dalam ramuan obat
tradisional China. Hal ini tercatat dalam kompendium ramuan obat China, yang
ditulis pada tahun 2737 SM (Li, 1974). Setelah itu, tanaman ganja sudah mulai
dibudidayakan. Pemanfaatannya juga semakin meluas, diantaranya sebagai sumber
serat, recreational consumption dan
obat-obatan, serta menyebar ke India dan Asia Tenggara (Mechoulam, 1986). Pada tahun
1839, seorang dokter dan ahli bedah bernama William O’Shaughnessy menemukan
analgesik, stimulan nafsu makan dan perelaksasi otot dari ganja selama dia
bekerja di India. Penemuan ini dipublikasikan serta menjadi awal dari ekspansi
riset penggunaan ganja sebagai obat.
Potensi
pemanfaatan ganja di bidang farmasi
Riset-riset terkait pemanfaatan
ganja sebagai obat sangat banyak dilakukan di Negara-negara yang melagalkan
riset terkait ganja. Ben Amar (2006) menyebutkan, saat ini telah ditemukan lebih dari 460 jenis komponen
kimia di dalam ganja, baik bersifat endogen maupun plant based. 104 jenis
diantaranya termasuk dalam golongan cannabinoid. Bahan bioaktif golongan cannabinoid yang sudah
diteliti dan terkandung dalam ganja dalam jumlah yang banyak yaitu delta-9-tetrahydrocannabinol
(THC), delta-8-tetrahydrocannabinol (∆8THC), cannabinol (CBN),
cannabidiol (CBD), cannabicycol (CBL), cannabichromene (CBC) dan cannabigerol
(CBG). Menurut Smith (1998) semua jenis bahan biaoktif ini (kecuali jenis THC) sangat
potensial dikembangkan sebagai obat, karena pada jumlah yang kecil, senyawa ini
tidak memberi efek psikotropika secara signifikan.
a.
Ganja sebagai efek antiemetik
Proses
kemoterapi kanker sering menyebabkan mual dan muntah sebagai efek sampingnya
(efek emetik). Efek ini bervariasi intensitasnya, beberapa kasus dapat terjadi
secara berkepanjangan. Senyawa THC dan turunannya seperti nabilone serta
dronabinol sangat potensi dikembangkan sebagai antiemetik. Penelitian Darmani
(2010) menyebutkan senyawa Δ9-THC efektif digunakan sebagai antiemetik
(pada pengujian hewan dan pasien). Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa
senyawa nabilone dari ganja secara signifikan lebih unggul dari pada antiemetik
konvensional seperti prokloperazin, domperidon dan alizapride. Saat ini, Canadian Pharmacists Association telah
menyetujui penggunaan dari nabilone dengan dosis 2-6 mg/hari.
b.
Ganja sebagai analgesik
Beberapa
jenis cannabinoid terbukti menjadi bahan analgesik yang efektif dalam mereda
nyeri kronis dan akut secara in vivo (pada hewan) (Duran et al, 2004). Hasil penelitian Costa et al, (2004) menyebutkan
cannabinoid WIN 55,212-2 mampu meredakan nyeri neuropatik dan hiperalgesia pada
hewan percobaan tikus. Penelitian lanjutan sangat penting dilakukan untuk
mengembangkan pemanfaatan ganja sebagai bahan analgesik.
c.
Ganja sebagai stimulan nafsu makan
Anorexia
atau kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan secara progresif yang
umum terjadi pada pasien penderita kanker stadium lanjut atau infeksi HIV. Kehilangan
nafsu makan bagi penderita kanker dan HIV akan menjadi perjuangan tersendiri
saat melawan kehilangan nafsu makan. Penggunaan ganja medis merupakan salah
satu solusi yang potensial dikembangkan untuk meningkatkan nafsu makan. Penelitian
yang dilakukan oleh Jatoi et al,
(2002) memberikan salah satu senyawa cannabinoid (magestrol) kepada 469
penderita kanker dewasa, terbukti dapat meningkatkan nafsu makan serta
meningkatkan berat badan rata-rata 11%. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh
Abrams et al, (2003) memberikan
senyawa THC kepada 67 penderita HIV dewasa mampu meningkatkan berat badan
rata-rata 3 Kg setelah 21 hari.
Penelitian-penelitian
ini menunjukkan potensi pengembangan ganja sebagai medis sangat besar. Banyak
penelitian menunjukkan hasil yang signifikan, disisi lain penggunaan ganja
sebagai medis telah dilakukan sejak jaman dahulu. Provinsi Aceh dikenal sebagai
daerah penghasil ganja. Saat ini, pemanfaatannya hanya sebagai obat terlarang
(psikotropika), sehingga sudah saatnya untuk dikembangkan riset penggunaan
ganja sebagai medis.
Referensi
McKim WA. 2000. Drugs and
Behavior. An Introduction to Behavioral Pharmacology, 4th ed. Prentice-Hall
: New Jersey (US).
Li HL. 1974. An archaelogical and historical account of cannabis in
China. Economic Botany 28: 437–448.
Mechoulam R. 1986. Chapter 1:
the pharmacohistory of Cannabis sativa. dalam : Mechoulam R. Cannabinoids
as Therapeutic Agents. CRC Press: Boca Raton(US).
Ben Amar M. 2006. Cannabinoids in medicine: a review of their
therapeutic potential. Journal of
Ethnopharmacology 105: 1-25.
Smith DE. 1998. Review of the american medical association council on
scientific affairs report on medical marijuana. Journal of Psychoactive Drugs 30: 127-136.
Darmani NA. 2010. Mechanisms of Broad-Spectrum Antiemetic Efficacy of
Cannabinoids against Chemotherapy-Induced Acute and Delayed Vomiting. Pharmaceuticals 3(9): 2930-2955.
Duran M. Laporte JR. Capella D. 2004. Novedades sobre las
potencialidades terapeuticas del cannabis y el sistema cannabinoide. Medicina Clinica 122: 390–398.
Costa B, Colleoni M, Conti S, Trovato AE, Bianchi M, Sotgiu ML,
Giagnoni G. 2004. Repeated treatment with the synthetic cannabinoid WIN
55,212-2 reduces both hyperalgesia and production of pronociceptive mediators
in a rat model of neuropathic pain. Br J
Pharmacol 141(1): 4-8.
Jatoi A. Windschitl HE. Loprinzi CL. Sloan JA. Dakhil SR. Mailliard
JA. Pundaleeka S. Kardinal CG. Fitch TR. Krook JE. Novotny PJ. Christensen B.
2002. Dronabinol versus megestrol acetateversus combination therapy for
cancer-associated anorexia: a North central cancer treatment group study. Journal of Clinical Oncology 20: 567–573.
Abrams DI. Hilton JF. Leiser RJ. Shade SB. Elbeik TA. Aweeka FT.
Benowitz BL. Bredt BM. Korel B. Aberg JA. Deeks SG. Mitchell TF. Mulligan K.
Baccheti P. McCune JM. Schambelan M. 2003. Short-term effects of cannabinoids
in patients with HIV-1 infection. A randomized, placebo-controlled clinical
trial. Annals of Internal Medicine
139: 258–266