Jumat, 27 September 2019

Ganja Medis ? Bisakah ??

Berbicara ganja, memang tidak ada habisnya. Dimulai dari kelompok yang menginginkan legalisasi ganja, atau hanya untuk riset dan pengembangan medis. Yang jelas sudah banyak kasus yang terjadi di Indonesia terkait ganja medis. Berikut dapat kita lihat headline-headline beritanya


Ternyata, pemanfaatan ganja ini sudah dari jaman dahulu loh, mari kita simak sejarah dan potensi penggunaan ganja untuk bahan medis

Sejarah pemanfaatan ganja
Ganja merupakan tumbuhan tertua yang dikenal sebagai obat psikotropika oleh manusia. Tanaman ganja sangat mudah tumbuh di daerah iklim tropis dan tengah (temperate).  Awal mula pemanfaatan ganja oleh manusia sangat sulit untuk ditelusuri. Hal ini dikarenakan penggunaannya sudah dilakukan dari zaman dahulu, bahkan sebelum adanya riset-riset ilmiah. Menurut McKim (2000) berdasarkan pernemuan arkeologis, ganja sudah dikenal di China sejak jaman neolitik atau sekitar tahun 4000SM.
Seorang Kaisar China bernama Shen Nung merupakan orang pertama yang menambahkan ganja dalam ramuan obat tradisional China. Hal ini tercatat dalam kompendium ramuan obat China, yang ditulis pada tahun 2737 SM (Li, 1974). Setelah itu, tanaman ganja sudah mulai dibudidayakan. Pemanfaatannya juga semakin meluas, diantaranya sebagai sumber serat, recreational consumption dan obat-obatan, serta menyebar ke India dan Asia Tenggara (Mechoulam, 1986). Pada tahun 1839, seorang dokter dan ahli bedah bernama William O’Shaughnessy menemukan analgesik, stimulan nafsu makan dan perelaksasi otot dari ganja selama dia bekerja di India. Penemuan ini dipublikasikan serta menjadi awal dari ekspansi riset penggunaan ganja sebagai obat.

Potensi pemanfaatan ganja di bidang farmasi
Riset-riset terkait pemanfaatan ganja sebagai obat sangat banyak dilakukan di Negara-negara yang melagalkan riset terkait ganja. Ben Amar (2006) menyebutkan, saat ini  telah ditemukan lebih dari 460 jenis komponen kimia di dalam ganja, baik bersifat endogen maupun plant based.  104 jenis diantaranya termasuk dalam golongan cannabinoid.  Bahan bioaktif golongan cannabinoid yang sudah diteliti dan terkandung dalam ganja dalam jumlah yang banyak yaitu delta-9-tetrahydrocannabinol (THC), delta-8-tetrahydrocannabinol (∆8THC), cannabinol (CBN), cannabidiol (CBD), cannabicycol (CBL), cannabichromene (CBC) dan cannabigerol (CBG). Menurut Smith (1998) semua jenis bahan biaoktif ini (kecuali jenis THC) sangat potensial dikembangkan sebagai obat, karena pada jumlah yang kecil, senyawa ini tidak memberi efek psikotropika secara signifikan.

a.       Ganja sebagai efek antiemetik
Proses kemoterapi kanker sering menyebabkan mual dan muntah sebagai efek sampingnya (efek emetik). Efek ini bervariasi intensitasnya, beberapa kasus dapat terjadi secara berkepanjangan. Senyawa THC dan turunannya seperti nabilone serta dronabinol sangat potensi dikembangkan sebagai antiemetik. Penelitian Darmani (2010) menyebutkan senyawa Δ9-THC efektif digunakan sebagai antiemetik (pada pengujian hewan dan pasien). Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa senyawa nabilone dari ganja secara signifikan lebih unggul dari pada antiemetik konvensional seperti prokloperazin, domperidon dan alizapride. Saat ini, Canadian Pharmacists Association telah menyetujui penggunaan dari nabilone dengan dosis 2-6 mg/hari.

b.      Ganja sebagai analgesik
Beberapa jenis cannabinoid terbukti menjadi bahan analgesik yang efektif dalam mereda nyeri kronis dan akut secara in vivo (pada hewan) (Duran et al, 2004). Hasil penelitian Costa et al, (2004) menyebutkan cannabinoid WIN 55,212-2 mampu meredakan nyeri neuropatik dan hiperalgesia pada hewan percobaan tikus. Penelitian lanjutan sangat penting dilakukan untuk mengembangkan pemanfaatan ganja sebagai bahan analgesik.

c.       Ganja sebagai stimulan nafsu makan
Anorexia atau kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan secara progresif yang umum terjadi pada pasien penderita kanker stadium lanjut atau infeksi HIV. Kehilangan nafsu makan bagi penderita kanker dan HIV akan menjadi perjuangan tersendiri saat melawan kehilangan nafsu makan. Penggunaan ganja medis merupakan salah satu solusi yang potensial dikembangkan untuk meningkatkan nafsu makan. Penelitian yang dilakukan oleh Jatoi et al, (2002) memberikan salah satu senyawa cannabinoid (magestrol) kepada 469 penderita kanker dewasa, terbukti dapat meningkatkan nafsu makan serta meningkatkan berat badan rata-rata 11%. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Abrams et al, (2003) memberikan senyawa THC kepada 67 penderita HIV dewasa mampu meningkatkan berat badan rata-rata 3 Kg setelah 21 hari.
Penelitian-penelitian ini menunjukkan potensi pengembangan ganja sebagai medis sangat besar. Banyak penelitian menunjukkan hasil yang signifikan, disisi lain penggunaan ganja sebagai medis telah dilakukan sejak jaman dahulu. Provinsi Aceh dikenal sebagai daerah penghasil ganja. Saat ini, pemanfaatannya hanya sebagai obat terlarang (psikotropika), sehingga sudah saatnya untuk dikembangkan riset penggunaan ganja sebagai medis.


Referensi
McKim WA. 2000. Drugs and Behavior. An Introduction to Behavioral Pharmacology, 4th ed. Prentice-Hall : New Jersey (US).
Li HL. 1974. An archaelogical and historical account of cannabis in China. Economic Botany 28: 437–448.
Mechoulam R. 1986. Chapter 1: the pharmacohistory of Cannabis sativa. dalam : Mechoulam R. Cannabinoids as Therapeutic Agents. CRC Press: Boca Raton(US).
Ben Amar M. 2006. Cannabinoids in medicine: a review of their therapeutic potential. Journal of Ethnopharmacology 105: 1-25.
Smith DE. 1998. Review of the american medical association council on scientific affairs report on medical marijuana. Journal of Psychoactive Drugs 30: 127-136.
Darmani NA. 2010. Mechanisms of Broad-Spectrum Antiemetic Efficacy of Cannabinoids against Chemotherapy-Induced Acute and Delayed Vomiting. Pharmaceuticals 3(9): 2930-2955.
Duran M. Laporte JR. Capella D. 2004. Novedades sobre las potencialidades terapeuticas del cannabis y el sistema cannabinoide. Medicina Clinica 122: 390–398.
Costa B, Colleoni M, Conti S, Trovato AE, Bianchi M, Sotgiu ML, Giagnoni G. 2004. Repeated treatment with the synthetic cannabinoid WIN 55,212-2 reduces both hyperalgesia and production of pronociceptive mediators in a rat model of neuropathic pain. Br J Pharmacol 141(1): 4-8.
Jatoi A. Windschitl HE. Loprinzi CL. Sloan JA. Dakhil SR. Mailliard JA. Pundaleeka S. Kardinal CG. Fitch TR. Krook JE. Novotny PJ. Christensen B. 2002. Dronabinol versus megestrol acetateversus combination therapy for cancer-associated anorexia: a North central cancer treatment group study. Journal of Clinical Oncology 20: 567–573.
Abrams DI. Hilton JF. Leiser RJ. Shade SB. Elbeik TA. Aweeka FT. Benowitz BL. Bredt BM. Korel B. Aberg JA. Deeks SG. Mitchell TF. Mulligan K. Baccheti P. McCune JM. Schambelan M. 2003. Short-term effects of cannabinoids in patients with HIV-1 infection. A randomized, placebo-controlled clinical trial. Annals of Internal Medicine 139: 258–266



0 komentar:

Posting Komentar